Baju adat bali
Dalam menggunakan busana (Pakaian) adat Bali para
pria maupun wanita di bali diawali dengan menggunakan kamen (Bawahan).
Lipatan kain kamen pria melingkar dari
kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen pria
kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena pria sebagai penanggung jawab
dharma. pada bagian ujung depan kain dibentuk lipatan kancut (lelancingan)
dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah.
tanah, sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu
Pertiwi, dan menggenakan "Saput" kira-kira satu jengkal
dari ujung kamen, dilingkarkan pada badan berlawanan arah jarum jam
(prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal)
yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk terutama emosi.
Untuk wanita lipatan kain/kamen melingkar dari
kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Wanita sebagai Sakti bertugas
menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen dari
pergelangan kaki kira-kira setelapak tangan. Disertai dengan menggunakan
selendang/senteng diikat menyerupai simpul hidup di kiri yang berarti sebagai
sakti dan mebraya. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan
syarat bersih, rapi, dan sopan.
Contoh-contoh baju adat bali
Baju tari adat
bali
Baju
pengantin adat bali
Baju-baju pernikahan
Contoh-contoh baju adat
dalam pernikahan adat bali !
Baju adat Kalimantan
tengah
Ini adalah salah satu contoh baju adat Kalimantan tengah baju adat
ini adalah baju adat untuk, adanya
acara-acara tertentu dalam perayaan hari-hari besar mereka , ini adalah baju
tarian, baju ini baju tarian dari
Kalimantan tengah , mungkin masih banyak lagi contoh2 yang lain dari
berbagai daerah mereka masing-masing.
KALIMANTAN
TENGAH
Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah mandala Kesultanan Banjar, penerus
Negara Daha yang telah memindahkan ibukota ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan
wilayah mandalanya yang semakin meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Pada abad
ke-16, berkuasalah Raja Maruhum
Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak
anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi
di istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai
Biang Lawai bernama Panglima Sorang yang diberi gelar Nanang Sarang
membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok. Selain
itu orang Biaju (sebutan Dayak pada zaman dulu) juga pernah membantu Pangeran Dipati
Anom (ke-2) untuk merebut tahta dari Sultan Ri'ayatullah. Raja
Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri Kotawaringin. Dipati
Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati
Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu
Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk
binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati
Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan
Putri Lanting.[5] Pangeran Amas yang bergelar
Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga
Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin
Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada
tahun 1637.[7]Menurut laporan Radermacher,
pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi
Raya kepala daerah Mendawai, Kyai Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden
Jaya kepala daerah Pembuang dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang
bergelar Ratu Kota Ringin[8]
Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sultan Batu dari
Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur,
sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk
Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri
dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura, Hulu Sungai sampai Distrik Pattai, Distrik Sihoeng dan Mengkatip menjadi
daerah protektorat VOC, Belanda. Pada tanggal 4
Mei 1826 Sultan Adam al-Watsiq
Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Tengah
beserta daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Secara de facto wilayah pedalaman Kalimantan Tengah tunduk kepada Hindia
Belanda semenjak Perjanjian Tumbang Anoi pada tahun 1894. Selanjutnya
kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia Belanda.[9] Sekitar tahun 1850, daerah Tanah Dusun (Barito
Raya) terbagi dalam beberapa daerah pemerintahan yaitu: Kiaij Martipatie,
Moeroeng Sikamat, Dermawijaija, Kiaij Dermapatie, Ihanjah dan Mankatip.[10][11]
Sejak tahun 1845, Hindia Belanda membuat susunan pemerintahan untuk
daerah zuid-ooster-afdeeling van Borneo [meliputi daerah sungai Kahayan, sungai
Kapuas Murung, sungai Barito, sungai Negara serta Tanah Laut] selain Residen
terdapat juga Rijksbestierder alias Kepala Pemerintahan Pangeran Ratoe Anom
Mangkoeboemi Kentjana. Di dalam hierarki
pemerintahan tersebut terdapat nama kepala suku Dayak seperti Tumenggung Surapati dan Toemenggoeng
Nicodemus Djaija Negara.[12]
Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, daerah-daerah
di wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling menurut Bêsluit van den
Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27
Agustus 1849, No. 8.[13] Daerah-daerah di Kalteng
tergolang sebagai negara dependen dan distrik dalam Kesultanan Banjar.[14]
Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih
murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat
transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah
Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan
Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan. Tahun 1520,
pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak,
agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar
mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan
Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang.
Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas secara otonom menjalankan hukum adat
Dayak-Kaharingan, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari
antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. Di daerah Pematang Sawang
Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan
Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang
didampingi oleh para satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin
Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa
Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun
1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat
daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Sekitar
tahun 1835 misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di selatan
Kalimantan. Pada 26
Juni 1835, Barnstein,
penginjil pertama Kalimantan tiba dan mulai menyebarkan agama Kristen di
Banjarmasin. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya
misionaris[15] Pada tanggal 1 Mei 1859
pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit.[16] Tahun 1917, Pemerintah
Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan petugas-petugas
pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak
abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan
maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu
saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka lakukan
hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah Sultan
Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai Menawing dan dimakamkan di
Puruk Cahu. Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke pedalaman.
Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak
mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan
mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku Dayak
Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran diakhiri dengan
perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya Pangenan atau
Panganon dengan Pemerintah Belanda. Menurut Hermogenes Ugang , pada abad ke 17,
seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke
Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi
sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk
mengurbankan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi
Katholik. Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan
pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor
Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor
Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju
mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Surya Alam/Tahliluulah,
karena orang Biaju (Ngaju) pendukung Gusti Ranuwijaya penguasa Tanah
Dusun-saingannya Sultan Surya Alam/Tahlilullah dalam perdagangan lada.[17] Dengan terbunuhnya Pastor
Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah
dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal
hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia
kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya.
Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai
penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam
bahasa Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar